09 Mei 2009

Berjuang untuk Seorang Yumna

Langkahku gontai, bukan menyalahkan siapa-siapa, tapi sedihku mematahkan hati suami yang tahunya semua baik-baik saja. Langkahku berhenti di depan pintu kamar tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Perlahan kubuka pintu, beliau berdiri di hadapanku menatap penuh tanya ke arahku yang terduduk lunglai. "Ka', besar sekali bede' anakta. Menyerahmi bidan h...h..." tangisku tumpah, beliau hanya bisa terdiam, kutahu ada sedih di sana. Akhirnya bidan itu datang juga menjelaskan semua, tepatnya di depan kamar kami bertiga berusaha cari jalan keluar. Saat itu yang bisa kulakukan hanya diam, mendengar mereka bicara. Tidak tahu rasa sedih seperti apa yang kurasakan. Mungkin hal yang biasa bagi orang tidak bisa melahirkan normal tapi bagiku tidak. Suami pun kelihatannya tetap optimis bahwa segala sesuatu bisa terjadi dengan kehendak Allah. Malam itu kami putuskan untuk operasi cesar seperti saran bidan. Kulihat suami tengah bicara serius dengan umminya melalui HP. Kudengar samar-samar merekapun sangat panik dan akhirnya kami rencana menunggu Zahroh adikku yang kuliah di kebidanan yang insyaAllah datang bersama ponakanku (Ka' Mila). Mendengar kasusku mereka langsung bergegas meski Zahro harus meninggalkan dinasnya di RS Wahidin. Malam itu juga selepas sholat isya, Zahroh dan Ka' Mila membawaku dengan taxi menuju RS Wahidin. Rencananya aku akan di tangani di sana dan kemungkinan di cesar. Alasan kami memilih di sana karena Zahroh dinas di sana, setidaknya privasiku saat melahirkan bisa terjaga. Meskipun aku sendiri kurang sreg karena biasanya yang namanya RS negeri selalu ada dokter-dokter koas-nya yang dengan setia menjadikan pasien siapapun dia entah itu berjilbab or tidak bahkan bercadar sekalipun seperti aku akan dijadikan obyek percobaannya tapi aku tetap nurut aja.

Seperti pemandangan yang sudah lumrah, malam ini RS Wahidin nampak ramai, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku dan Ka' Mila menunggu Zahroh yang lagi registrasi. Sambil menahan sakit sesekali mataku menatap jauh ke arah jalan tapi zauji belum datang juga. "Sabar ya de' " ka mila terus menyemangatiku sambil melap keringatku yang bercucuran. Setelah menaiki 2 anak tangga akhirnya kami sampai di ruangan pemeriksaan, sudah kuduga di sana sudah menunggu 5 orang bidan dan beberapa koas laki-laki yang mau tak mau aku harus rela diperiksa. Tak lama kemudian zauji datang dan aku pun mulai tenang. "Tidak mauja melahirkan di sini, biarmi kita bayar mahal di khadijah asalkan hijabku terjaga" Mungkin kasihan melihatku pucat dengan lelehan air mata menahan sakit, akhirnya Zahroh dan Ka Mila membawaku ke RSB Khadijah yang ada di Jl. Veteran. Ku lihat zauji menyusul kami dengan motornya kemudian hilang di tengah ramainya lalu lintas Makassar. "Ka' sakit sekali" rengekanku bercampur air mata membuat zahro dan ka mila semakin gelisah. Perasaanku saat itu luar biasa sakit, kontraksi itu setia semakin tak berjarak lagi datangnya dan tiada memberiku kesempatan untuk sedikit saja mengatur nafasku. Terdengar samar-samar Zahroh menasehatkan agar aku ambil nafas dalam-dalam setiap rasa sakit itu datang. Mungkin kasihan melihatku kesakitan supir taxipun ikut ngebut.

Sekitar pukul 21.00 kami sampai juga. Alhamdulillah hanya aku pasien yang mau bersalin malam itu. Semua bidan-bidan yang kebetulan tugas mengenalku karena di RSB Khadijah tempatku memeriksakan kandunganku tiap bulannya. Aku langsung di baringkan di ruangan bersalin. Zauji, Zahro dan Ka Mila dengan setia menemaniku. Sangat sulit menggambarkan rasa sakit yang tiap menit kurasakan. Kedua tangan suamilah tempatku bertumpu bila rasa sakit itu datang. Aku merasa setengah sadar, rasa ngantuk dan capek semakin memperburuk staminaku. Zahroh setia melap keringat yang menganak sungai dan Ka Mila tiada henti memberiku minum bila kontraksinya berhenti. Akhirnya dokter kandunganku datang dan langsung memeriksaku. Ketika itu zauji, zahroh, dan Ka' Mila diminta sementara keluar ruangan dahulu karena kondisi badan dan bayiku akan dicek oleh dokter. Sepertinya diluar ruangan zauji nampak tegang apakah dokterpun akan memfonis cesar untuk menyelamatkan bayiku.

"Sudah pembukaaan 2 posisi bayinya bagus dan beratnya seitar 3,9 kilo" kata dokter sambil mencatat jumlah denyut jantung bayiku. "Dok, bisaji lahir normal?" tanyaku dengan suara lemah "Iya bu, selalu bisa asal ibujuga berusaha dan besarkan hati, semua normal kontraksinya juga bagus, sekitar subuh semoga sudah lahir" ada senyum di balik wajahku yang lelah, harapan itu kembali datang.

"Tolong berikan ibunya minum yang banyak ya..." pesan terahir dokter sebelum pergi. Zauji, zahroh dan ka' mila terus menyemangatiku.

Sambil terus mencengkram tangan suami menahan sakit, mataku terus saja menatap jam dinding yang menunjuk angka satu. "Ya Allah Ya Robb, berikanlah kemudahanMu." do'aku sambil terus melafaskan Allah dalam tarikan nafasku yang berat. Air mataku berlinang, kini kurasakan beratnya pengorbanan Ua' (ibu) dan A'baku(ayah). "Ka' tidak bisama , sakit sekali tidak bisami kutahan" rengekku pelan. "Sabarki, tahanki tinggal sedikit mami. Ingatki banyak yang sedang menunggu Yumna, bisajaki itu insya Allah." Ahirnya aku terdiam melihat harapan besar suami "Yah aku pasti bisa !". Busss.....perasaanku sedikit kaget, tiba-tiba terasa ada yang meletus seperti balon dalam perutku. Air mengalir dari bawah deras berbau seperti bau bayclin (pemutih pakaian). Awalnya aku kira itu adalah air kencing, tapi kalau aku buang air kecil, kok deras banget ya?. Ketika itu aku yakin insyaAllah ini bukan kencing, tapi air ketuban. "Bu' bidan....pecahki ketubanku" semua yang ada di situ kaget mendengar teriakan kecilku di tengah canda mereka. Segera 2 orang bidan yang lagi merebahkan diri di ruangannya langsung berhambur ke dekatku. Kulihat suami, Zahroh dan Ka Mila tidak kalah paniknya. Samar-samar bidan yang satu memeriksaku "pembukaan delapanmi" katanya, sambil kemudian memeriksa denyut jantung bayiku. "Jam berapa kira-kira lahir bidan" tanya suamiku dengan nada gembira "Tunggu-tunggumi sekitar jam 4 atau 5" kata bidan tersebut sambil membersihkan tangannya. Bidan yang satu kudengar menelpon dokter yang akan menolong persalinanku.

Ada bahagia, meski jujur aku tak tahu seperti apa rasanya sakitnya melahirkan, yang kutahu kalau dokter sudah dihubungi pertanda waktunya sudah dekat. Menanti saat yang diharapkan sungguh menyiksaku, apalagi sakit kontraksi yang kurasa semakin menjadi, sungguh luar biasa sakitnya hingga suara nafasku terdengar bergetar. Peluh terus membasahi seluruh badan sambil terus mencengkram kuat ke dua tangan suami saat sakit kontraksi itu datang. Subhanallah tiba-tiba kurasakan ngantuk yang luar biasa, tanpa menunggu lama mataku terpejam tapi tak lama kemudian tersentak terbangun karena rasa sakit kontraksi yang semakin memuncak. Sampai pukul 02.00 dini hari, rasa sakit itu tak tertahankan sampai aku menjerit, bidan yang melihatku saat itu langsung memeriksaku dan menelpon dokter "Hampirmi pembukaan lengkap, ambilmaki pakaian bayita'". Dengan sigap zahro dan ka mila beranjak meski dengan mata sayu karena ngantuk.

Tidak lama kemudian dokterpun datang, seketika suasana manjadi sibuk. Kulihat peralatan seperti gunting, jarum dan yang lain mulai disiapkan. Dokter memeriksaku dan sekitar pukul 03.00 pembukaan lengkap. Dokter menginstruksikan bila kontraksinya datang supaya aku mengedan. Sudah sekitar 3 kali kontraksi datang tapi kata dokter kepala bayi belum kelihatan. Tenagaku mulai melemah tapi tetap aku harus kuat !. Suami terus memberiku air dan madu di sela kontraksi. Saat kontraksi yang ke 5, tiba-tiba dokter mendekat memeriksa denyut jantung bayiku. Lewat dopler (pendeteksi denyut jantung bayi) kami semua bisa mendengar jantung bayiku makin melambat. Wajah dokter dan para bidan terlihat cemas "Sediakan dua tabung oksigen dan berikan infus untuk menambah lama kontraksi, cepat ....denyut bayinya mulai melemah".

Aku dan keluarga hanya bisa terdiam melihat kesibukan mereka. Ada yang tidak beres! Keyakinanku bertambah saat semua bidan yang tadinya santai-santai di ruangan masing-masing tiba-tiba berhamburan mendekatiku sesuai instruksi dokter. Ada yang memasang infus, memasang selang tabung oksigen ke hidungku. Benar-benar aku kelelahan terasa kepala bayiku susah keluar dari pintu. Seorang bidan menyuruh keluargaku keluar (kecuali zauji), kemudian tiraipun di tutup. Sekarang aku harus berjuang sendiri ditemani 7 bidan dan dokter dan ucapan semangat dari suami. Terasa ada yang di robek di jalan lahirku, dokter ditemani 3 orang bidan sibuk berusaha melebarkan jalan lahir dengan gunting bedah, sekuat tenaga yang tersisa aku terus mengedan tapi kepala bayiku belum keluar juga. Tubuhku lunglai. " Dorong pelan-pelan perutnya, bayinya harus segera keluar jangan sampai jantungnya berhenti berdenyut !" kata dokter. Seketika itu seperti sudah terformasi 2 bidan lain sudah ada di sisi kanan dan kiriku, mereka terus mendorong perutku dan aku terus mengedan. "Ya Allah...rasa sakit itu sungguh luar biasa, seperti ada akar yang tertancap kuat dan dicabut dengan paksa. Jeritanku ahirnya keluar juga yang sedari tadi tertahan.

Suasana sangat tegang, ahirnya zahroh dan ka' mila dibolehkan masuk. Wajah mereka tak kalah paniknya. " terus....berkuat irma....terus sayang dorong bayinya" suara dokter membimbingku. terasa ada benda keras yang terus mendesak untuk keluar. Dokter terus menarik kepala bayiku dan bidan terus mendorong dari atas. Alhamdulillah pukul 03.49 bayiku lahir tapi semua belum berahir. Selang oksigen di cabut, badanku melemah. Kulihat semua orang berlari ke tempat bayiku dibersihkan. Dokter dengan sigap memasukan selang oksigen ke hidung anakku yang membiru. hatiku sakit melihatnya lahir tanpa tangisan "zahroh...kenapai ponakanmu...?" kulihat wajahnyapun terlihat sedih "tidak papaji de'" ka mila mencoba menenangku. Meski tahu apa yang terjadi, aku terus meyakinkan diri kalo semua baik-baik saja. Sekitar pukul 04.00 akhirnya buah hatiku lahir sempurna ke dunia dengan berat 3,9 kilo dan panjang 4,9 senti. ALHAMDULILLAH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar