18 Mei 2009

Tante Piat datang dari Mandar

Dua hari setelah aqikahan tepatnyahari Senin adikku yang bungsu Piat akhirnya datang juga di Makassar. Dia tidak sempat hadir karena sibuk dengan urusan sekolah maklum baru selesai UAN SMA. Zahro yang menjemputnya di Goa karena dia datang bersama Andaeng (sepupuku) dari Mandar. Barulah menjelang Isya kami betiga bisa ketemu dan melepas rindu. Semenjek sudah walimah aku dan piat hampir satu tahun tidak ketemu begitu juga Zahro karena kesibukannya kuliah membuat kami terpisah. Wajah adikku piat nampak lebih dewasa, tidak ada lagi piat yang cengeng seperti dulu. Mungkin kepergian ua dan a'ba sewaktu dia masih SD membuatnya belajar menghadapi hidup, aku dan Zahropun begitu.

Piat nampak senang bermain dengan yumna meski rada malu. Bahagia rasanya berkumpul dengan adik2ku meski hanya sebentar. Kesendiriannya di Mandar meski keluarga mengelilinginya di mandar membuat Piat agak kaku, tapi biarlah....aku mengerti. Ba'da isya Piat dan Zahro pamitan. Iya'(sapaan sayangku ke piat) lebih memilih ikut Zahro ke kosnya karena lebih dekat ke UNM kampus tempatnya kuliah nanti, maklum Sudiang-UNM joauh...banget kasihan piatnya nanti kecapen bila tinggal sama unna di Sudiang. Tanggal 20 Piat kembali ke Mandar, dia hanya bisa berpamitan lewat telpon. Rasanya rinduku belum terobati, tapi biarlah, toh insyaAllah dia akan kuliah di Makassar
Baca Lanjutan - Tante Piat datang dari Mandar

16 Mei 2009

Nasiqkahannya Unna

Tanggal 16 sepekan dari kelahiran unna tepatnya hari sabtu, acara aqikahan unna digelar. Sebelumnya Puang nene (sapaan untuk nenek ) dan Puang Lato' nya Unna (kakek dalam bahasa Bugis) udah datang duluan 2 hari sebelumnnya. Meski sangat sibuk mereka terlihat senang dengan kehadiran cucu perempuan mereka yang pertama, maklum ke empat anak mereka (termasuk Abinya Unna) semuanya laki-laki. Alhamdulillah acaranya lancar dan penuh hikmad. Tamu berdatangan semenjak pukul 10.00 pagi sampai menjelang Isya. Semua keluarga dari pihak Abinya unna datang sedang keluargaku (dari Mandar) tidak ada yang bisa hadir karena berhalangan dan jarak Mandar Makassar lumayan jauh. Hanya Dewi, Accung, Ila, Ana dan Ukki sepupu dan ponakanku yang bisa hadir karena kebetulan mereka kuliah di Makassar(wah jadi rindu nih dengan tanah Mandar). Unna nampak cantik dengan pakean pinknya, sedari awal acara sampai selesai dia tidak pernah tenang dalam pangkuan karena semua tamu yang hadir pengen liat Unna, Alhamdulillah Puang nenenya dengan setia menggendongnya menggantikan aku yang masih harus istirahat karena jahitannku. Wah...semua orang dibikin capek sama unna meski acaranya sederhana semua pada teler karena kelelahan. Hari ahad semua keluarga balik termasuk Puang Nenenya Unna. Tante Salsa dan Tante Diva (meski masih kecil salsa and diva sudah jadi tante lo..) dengan berat hati ninggalin ponakannya unna untuk kembali sekolah di Sorowako. Rumah kemabali sunyi hanya ada aku,abi juga unna.
Baca Lanjutan - Nasiqkahannya Unna

09 Mei 2009

Kehidupan Baru Unna

Ini adalah hari pertama kehidupan Yumna anak kami. Setelah di jahit dan dibersihkan, ba'da subuh aku dipindahkan ke kamar perawatan. Di sana sudah ada zauji , zahro dan ka Mila yang sedari tadi menunggu. Dengan susah payah aku dinaikan ke tempat tidur dengan infus yang masih melekat. Sungguh kondisi yang tidak nyaman dengan jahitan yang mengganggu. Kabar kalo aku sudah melahirkan tersiar pada seluruh keluarga. Meskipun sudah melahirkan kontraksi itu masih sering muncul sakit seperti saat mau melahirkan, kata Zahrah itu bagus karena merupakan tanda kalo rahimku mulai mengecil sedikit demi sedikit. Aku terus dirangsang untuk buang air kecil, kata dokter tidak boleh ditahan karena akan menghalangi kontraksi. Semakin teratur kontraksi datang maka akan semakin baik untuk pengembalian rahim ke bentuknya semula. Jadi meskipun dijahit Alhamdulillah aku beranikan diri untuk ke kamar kecil. Pertamanya sih di bantu tapi setelahnya aku bisa sendiri. Luka jahitan yang baru tidak apa-apa kok kena air, tidak akan infeksi yang penting di jaga kebersihannya.

Saat yang kutunggu akhirnya datang. akhirnya bidan datang juga membawa anakku yang sempat diinkubator karena kekurangan oksigen. Kutatap waja mungilnya, warna kulit yang merah dan rambut yang lebat "assalamu'alaikum nak, ini ummi"sapaku pertama kali sambil menggendongnya dengan tubuh yang bersandar. Setelah selesai, Zahrah mengambilnya karena aku harus berbaring kembali. Kulihat Zahro memberi susu formula pada bayi kecilku dengan sendok. Mulutnya yang tipis mungil begitu pintar menyedot tetesan demi tetesan " na' ummi minta maaf, belumpa' bisa kasi'ki susu"ada rasa sedih menyelinap tak bisa memberinya ASI pertamanya.

Tiga hari di RS akahirnya kami pulang juga. Puang nene menyambut kami dengan gembiranya. Meskipun ada yang menemani, perlahan kuurus keperluanku sendiri termasuk mencuci pakaian Unna (sapaan yumna). Pekan pertama semua serasa berbeda dibanding sewaktu hamil. Unna yang tergolong bayi besar selalu minta disusui, sungguh melelahkan dengan kondisi masih lemah harus begadang tiap malam sampai subuh. Punya anak bayi hidup jadi lebih berwarna, rasanya 24 jam tidak cukup bagiku untuk menunaikan tugasku mengurus anak, suami, rumah bahkan mengurus diripun terkadang lupa (he..he...biasa lo lupa mandi maklum ibu baru jadi belum terbiasa sesibuk ini).
Baca Lanjutan - Kehidupan Baru Unna

Berjuang untuk Seorang Yumna

Langkahku gontai, bukan menyalahkan siapa-siapa, tapi sedihku mematahkan hati suami yang tahunya semua baik-baik saja. Langkahku berhenti di depan pintu kamar tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Perlahan kubuka pintu, beliau berdiri di hadapanku menatap penuh tanya ke arahku yang terduduk lunglai. "Ka', besar sekali bede' anakta. Menyerahmi bidan h...h..." tangisku tumpah, beliau hanya bisa terdiam, kutahu ada sedih di sana. Akhirnya bidan itu datang juga menjelaskan semua, tepatnya di depan kamar kami bertiga berusaha cari jalan keluar. Saat itu yang bisa kulakukan hanya diam, mendengar mereka bicara. Tidak tahu rasa sedih seperti apa yang kurasakan. Mungkin hal yang biasa bagi orang tidak bisa melahirkan normal tapi bagiku tidak. Suami pun kelihatannya tetap optimis bahwa segala sesuatu bisa terjadi dengan kehendak Allah. Malam itu kami putuskan untuk operasi cesar seperti saran bidan. Kulihat suami tengah bicara serius dengan umminya melalui HP. Kudengar samar-samar merekapun sangat panik dan akhirnya kami rencana menunggu Zahroh adikku yang kuliah di kebidanan yang insyaAllah datang bersama ponakanku (Ka' Mila). Mendengar kasusku mereka langsung bergegas meski Zahro harus meninggalkan dinasnya di RS Wahidin. Malam itu juga selepas sholat isya, Zahroh dan Ka' Mila membawaku dengan taxi menuju RS Wahidin. Rencananya aku akan di tangani di sana dan kemungkinan di cesar. Alasan kami memilih di sana karena Zahroh dinas di sana, setidaknya privasiku saat melahirkan bisa terjaga. Meskipun aku sendiri kurang sreg karena biasanya yang namanya RS negeri selalu ada dokter-dokter koas-nya yang dengan setia menjadikan pasien siapapun dia entah itu berjilbab or tidak bahkan bercadar sekalipun seperti aku akan dijadikan obyek percobaannya tapi aku tetap nurut aja.

Seperti pemandangan yang sudah lumrah, malam ini RS Wahidin nampak ramai, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku dan Ka' Mila menunggu Zahroh yang lagi registrasi. Sambil menahan sakit sesekali mataku menatap jauh ke arah jalan tapi zauji belum datang juga. "Sabar ya de' " ka mila terus menyemangatiku sambil melap keringatku yang bercucuran. Setelah menaiki 2 anak tangga akhirnya kami sampai di ruangan pemeriksaan, sudah kuduga di sana sudah menunggu 5 orang bidan dan beberapa koas laki-laki yang mau tak mau aku harus rela diperiksa. Tak lama kemudian zauji datang dan aku pun mulai tenang. "Tidak mauja melahirkan di sini, biarmi kita bayar mahal di khadijah asalkan hijabku terjaga" Mungkin kasihan melihatku pucat dengan lelehan air mata menahan sakit, akhirnya Zahroh dan Ka Mila membawaku ke RSB Khadijah yang ada di Jl. Veteran. Ku lihat zauji menyusul kami dengan motornya kemudian hilang di tengah ramainya lalu lintas Makassar. "Ka' sakit sekali" rengekanku bercampur air mata membuat zahro dan ka mila semakin gelisah. Perasaanku saat itu luar biasa sakit, kontraksi itu setia semakin tak berjarak lagi datangnya dan tiada memberiku kesempatan untuk sedikit saja mengatur nafasku. Terdengar samar-samar Zahroh menasehatkan agar aku ambil nafas dalam-dalam setiap rasa sakit itu datang. Mungkin kasihan melihatku kesakitan supir taxipun ikut ngebut.

Sekitar pukul 21.00 kami sampai juga. Alhamdulillah hanya aku pasien yang mau bersalin malam itu. Semua bidan-bidan yang kebetulan tugas mengenalku karena di RSB Khadijah tempatku memeriksakan kandunganku tiap bulannya. Aku langsung di baringkan di ruangan bersalin. Zauji, Zahro dan Ka Mila dengan setia menemaniku. Sangat sulit menggambarkan rasa sakit yang tiap menit kurasakan. Kedua tangan suamilah tempatku bertumpu bila rasa sakit itu datang. Aku merasa setengah sadar, rasa ngantuk dan capek semakin memperburuk staminaku. Zahroh setia melap keringat yang menganak sungai dan Ka Mila tiada henti memberiku minum bila kontraksinya berhenti. Akhirnya dokter kandunganku datang dan langsung memeriksaku. Ketika itu zauji, zahroh, dan Ka' Mila diminta sementara keluar ruangan dahulu karena kondisi badan dan bayiku akan dicek oleh dokter. Sepertinya diluar ruangan zauji nampak tegang apakah dokterpun akan memfonis cesar untuk menyelamatkan bayiku.

"Sudah pembukaaan 2 posisi bayinya bagus dan beratnya seitar 3,9 kilo" kata dokter sambil mencatat jumlah denyut jantung bayiku. "Dok, bisaji lahir normal?" tanyaku dengan suara lemah "Iya bu, selalu bisa asal ibujuga berusaha dan besarkan hati, semua normal kontraksinya juga bagus, sekitar subuh semoga sudah lahir" ada senyum di balik wajahku yang lelah, harapan itu kembali datang.

"Tolong berikan ibunya minum yang banyak ya..." pesan terahir dokter sebelum pergi. Zauji, zahroh dan ka' mila terus menyemangatiku.

Sambil terus mencengkram tangan suami menahan sakit, mataku terus saja menatap jam dinding yang menunjuk angka satu. "Ya Allah Ya Robb, berikanlah kemudahanMu." do'aku sambil terus melafaskan Allah dalam tarikan nafasku yang berat. Air mataku berlinang, kini kurasakan beratnya pengorbanan Ua' (ibu) dan A'baku(ayah). "Ka' tidak bisama , sakit sekali tidak bisami kutahan" rengekku pelan. "Sabarki, tahanki tinggal sedikit mami. Ingatki banyak yang sedang menunggu Yumna, bisajaki itu insya Allah." Ahirnya aku terdiam melihat harapan besar suami "Yah aku pasti bisa !". Busss.....perasaanku sedikit kaget, tiba-tiba terasa ada yang meletus seperti balon dalam perutku. Air mengalir dari bawah deras berbau seperti bau bayclin (pemutih pakaian). Awalnya aku kira itu adalah air kencing, tapi kalau aku buang air kecil, kok deras banget ya?. Ketika itu aku yakin insyaAllah ini bukan kencing, tapi air ketuban. "Bu' bidan....pecahki ketubanku" semua yang ada di situ kaget mendengar teriakan kecilku di tengah canda mereka. Segera 2 orang bidan yang lagi merebahkan diri di ruangannya langsung berhambur ke dekatku. Kulihat suami, Zahroh dan Ka Mila tidak kalah paniknya. Samar-samar bidan yang satu memeriksaku "pembukaan delapanmi" katanya, sambil kemudian memeriksa denyut jantung bayiku. "Jam berapa kira-kira lahir bidan" tanya suamiku dengan nada gembira "Tunggu-tunggumi sekitar jam 4 atau 5" kata bidan tersebut sambil membersihkan tangannya. Bidan yang satu kudengar menelpon dokter yang akan menolong persalinanku.

Ada bahagia, meski jujur aku tak tahu seperti apa rasanya sakitnya melahirkan, yang kutahu kalau dokter sudah dihubungi pertanda waktunya sudah dekat. Menanti saat yang diharapkan sungguh menyiksaku, apalagi sakit kontraksi yang kurasa semakin menjadi, sungguh luar biasa sakitnya hingga suara nafasku terdengar bergetar. Peluh terus membasahi seluruh badan sambil terus mencengkram kuat ke dua tangan suami saat sakit kontraksi itu datang. Subhanallah tiba-tiba kurasakan ngantuk yang luar biasa, tanpa menunggu lama mataku terpejam tapi tak lama kemudian tersentak terbangun karena rasa sakit kontraksi yang semakin memuncak. Sampai pukul 02.00 dini hari, rasa sakit itu tak tertahankan sampai aku menjerit, bidan yang melihatku saat itu langsung memeriksaku dan menelpon dokter "Hampirmi pembukaan lengkap, ambilmaki pakaian bayita'". Dengan sigap zahro dan ka mila beranjak meski dengan mata sayu karena ngantuk.

Tidak lama kemudian dokterpun datang, seketika suasana manjadi sibuk. Kulihat peralatan seperti gunting, jarum dan yang lain mulai disiapkan. Dokter memeriksaku dan sekitar pukul 03.00 pembukaan lengkap. Dokter menginstruksikan bila kontraksinya datang supaya aku mengedan. Sudah sekitar 3 kali kontraksi datang tapi kata dokter kepala bayi belum kelihatan. Tenagaku mulai melemah tapi tetap aku harus kuat !. Suami terus memberiku air dan madu di sela kontraksi. Saat kontraksi yang ke 5, tiba-tiba dokter mendekat memeriksa denyut jantung bayiku. Lewat dopler (pendeteksi denyut jantung bayi) kami semua bisa mendengar jantung bayiku makin melambat. Wajah dokter dan para bidan terlihat cemas "Sediakan dua tabung oksigen dan berikan infus untuk menambah lama kontraksi, cepat ....denyut bayinya mulai melemah".

Aku dan keluarga hanya bisa terdiam melihat kesibukan mereka. Ada yang tidak beres! Keyakinanku bertambah saat semua bidan yang tadinya santai-santai di ruangan masing-masing tiba-tiba berhamburan mendekatiku sesuai instruksi dokter. Ada yang memasang infus, memasang selang tabung oksigen ke hidungku. Benar-benar aku kelelahan terasa kepala bayiku susah keluar dari pintu. Seorang bidan menyuruh keluargaku keluar (kecuali zauji), kemudian tiraipun di tutup. Sekarang aku harus berjuang sendiri ditemani 7 bidan dan dokter dan ucapan semangat dari suami. Terasa ada yang di robek di jalan lahirku, dokter ditemani 3 orang bidan sibuk berusaha melebarkan jalan lahir dengan gunting bedah, sekuat tenaga yang tersisa aku terus mengedan tapi kepala bayiku belum keluar juga. Tubuhku lunglai. " Dorong pelan-pelan perutnya, bayinya harus segera keluar jangan sampai jantungnya berhenti berdenyut !" kata dokter. Seketika itu seperti sudah terformasi 2 bidan lain sudah ada di sisi kanan dan kiriku, mereka terus mendorong perutku dan aku terus mengedan. "Ya Allah...rasa sakit itu sungguh luar biasa, seperti ada akar yang tertancap kuat dan dicabut dengan paksa. Jeritanku ahirnya keluar juga yang sedari tadi tertahan.

Suasana sangat tegang, ahirnya zahroh dan ka' mila dibolehkan masuk. Wajah mereka tak kalah paniknya. " terus....berkuat irma....terus sayang dorong bayinya" suara dokter membimbingku. terasa ada benda keras yang terus mendesak untuk keluar. Dokter terus menarik kepala bayiku dan bidan terus mendorong dari atas. Alhamdulillah pukul 03.49 bayiku lahir tapi semua belum berahir. Selang oksigen di cabut, badanku melemah. Kulihat semua orang berlari ke tempat bayiku dibersihkan. Dokter dengan sigap memasukan selang oksigen ke hidung anakku yang membiru. hatiku sakit melihatnya lahir tanpa tangisan "zahroh...kenapai ponakanmu...?" kulihat wajahnyapun terlihat sedih "tidak papaji de'" ka mila mencoba menenangku. Meski tahu apa yang terjadi, aku terus meyakinkan diri kalo semua baik-baik saja. Sekitar pukul 04.00 akhirnya buah hatiku lahir sempurna ke dunia dengan berat 3,9 kilo dan panjang 4,9 senti. ALHAMDULILLAH.
Baca Lanjutan - Berjuang untuk Seorang Yumna

08 Mei 2009

Karunia yang Tertunda

Hingga pukul 17.30 sore (hari jum'at) batas waktu normal bayiku harus lahir tapi belum ada kemajuan kontraksi. Kata bidan senior yang sekarang sudah menanganiku ternyata pembukaanku belum maju-maju. Ada senyum kaku yang terpaksa kulepaskan saat bidan itu menyatakn menyerah, tidak mau ambil resiko menolong parsalinanku yang cukup sulit ini. " Nak kami disini senang bila bisa menolong, tapi anakmu itu terlalu besar sekitar 4,2 kilo. Lebih baik kedokter saja karena dalam kasus yang rumit mereka lebih berkompeten" . Kata-kata itu seperti setruman listrik membuatku mematung sejenak. Mataku mulai terasa berat tak tahan ingin menumpahkan bebannya, tapi terus kutahan jangan sampai menganak sungai di ruangan bidan. "Diskusikanmi dulu dengan suamita, kita cari solusinya sam-sama" kata bidan tersebut. Meski hatiku kecewa dan ada rasa sakit di sana, tapi terus kusemangati diriku meskipun hampir tiada sisa lagi setelah penjelasan itu. Rasanya begitu lama menunggumu wahai anakku.
Baca Lanjutan - Karunia yang Tertunda

07 Mei 2009

InsyaAllah Saatnya Tiba ...

Seperti menanti sesuatu yang tiada pasti, apakah kami bisa memilikinya atau tidak. Satu bulan terakhir ini, hampir tiap malam pikiranku campur aduk membuat mata tak bisa terpejam. Sudah 9 bulan 3 minggu si kecil yang sudah lama menemani belum nongol-nongol juga, jangankan mau lahir, tanda-tandanya saja belum. Hanya ada rasa sakit (kontraksi palsu) yang kurasakan. Seharusnya dede udah lahir 2 pekan yang lalu sesuai prediksi dokter kandunganku. Masih segar di ingatanku nasehat beliau saat USG terkhir yang lalu agar aku segera melahirkan bayiku meskipun harus dengan bantuan INDUKSI. Itu semua karena kehamilanku ditakutkan lewat bulan meskipun masih normal karena belum lewat 40 minggu. Dalam hati aku sangat hawatir ada apa-apa pada bayiku, apalagi gerakannya sekarang tidak selincah dulu.Ufh......bunyi tarikan nafasku, meski kontraksi palsu, tetap saja sakitnya terasa hingga membuyarkan lamunanku.

Tak terasa hari sudah mendekati senja, rupanya sudah 5 jam aku berbaring menerawang dengan semua kecemasanku "ya Robb, berikanlah hamba jalan keluar yang terbaik" air mataku mengalir mengiringi do'aku. yah aku harus optimis bayiku bisa lahir normal seperti kata suamiku. Akhirnya tepat jam 17.30 beliau datang, rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengantarku periksa. Kamis malam ba'da isya dengan perut yang lumayan besar kami meluncur dengan motor ke Rumah Bersalin (RB) seorang bidan senior di daerah Jalan Tol yang kebetulan berdekatan dengan tempat tinggal kami. Karena lokasinya yang berada di lintasan jalan tol, perjalanan kami tiada hambatan. Sampai di sana aku langsung ditangani, mulai dari memeriksa tekanan darah sampai menimbang berat badanku.

"Normal bu, anak pertama ya?" aku menganggukan kepala sambil membalas senyuman bidan itu, lalu kutanyakan segera bidan senior pemilik RB itu, kalau bisa beliau yang memeriksaku. Tapi sayangnya beliau lagi menangani persalinan. Mataku menatap ke arah suami yang dengan setia menyemangatiku seakan mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Kuikuti bidan itu menuju sebuah ruangan. Sambil berjalan kulihat seorang ibu dengan kesakitan yang sangat, tengah berjuang melahirkan bayinya. Dug-dug....jantungku terasa berdenyut cepat ada rasa takut bercampur cemas. "Mari bu saya periksa" kata bidan tersebut. " Ya Allah sesakit itukah sampai wanita itu berteriak ?" .Akhirnya langkahku berhenti disebuah tempat tidur, berbaring di atasnya seperti petunjuk bidan. Mataku terus menatap tangan bidan yang sudah disterilkan bersiap memeriksa apakah sudah ada pambukaan atau belum. Ups ....aku agak kaget karena rasa sakit. Dari jauh samar-samar kudengar suara ibu yang tadi berteriak, pasti sakit sekalii " Ibu, sudah pembukaan empatmi. Janganmaki pulang suruhmi suamita ambil pakaian karena insya Allah kalo kontraksinya teratur bisami lahir besok subuh" jelas bidan itu dengan logat Makassarnya. "Normalji semua, kepala bayi normal dan sesuai panggulta', jadi janganmaki hawtir. nanti jalan-jalanmaki' di luar supaya dedenya cepat lahir" terangnya seakan tahu kegundahanku. Mendengar kalau aku sudah pembukaan 4, kulihat ada binar bahagia dimata suamiku. Optimis yang selama ini jatuh bangun kukumpulkan akhirnya kokoh menyemangatiku, kami akan berjuang untuk YUMNA yang semoga menjadi pembela agama Allah di atas muka bumi. Jam nenunjukan pukul 21.30, lumayan lama aku mondar mandir di depan RB tak peduli dengan tatapan aneh pengunjung yang lain. Mungkin agak aneh dengan busanaku yang serba hitam apalagi wajahku tertutupi cadar. Semua kuabaikan karena ada haru yang sulit kubahasakan. Sms semangat dari adik, keluarga dan sahabat terus menyemangati karena malam itu mereka tidak bisa menemani "Sayang, sabarki' nah. Insya Allah ketemujaki itu...." kubisikan kata demi kata berharap si kecilku merasakan bahagiaku, ternyata dia juga merespon dengan gerakannya meski tidak selincah dulu. Akhirnya malam itu aku dan suami menginap dengan satu asa, semoga bayi kami lahir malam ini.
Baca Lanjutan - InsyaAllah Saatnya Tiba ...